Jumat, 06 Januari 2012

pegadaian laptop

“Halo.”
“Halo,” suara di sana merespon sapaanku.
“Lo lagi sibuk gak? Tolongin gue dong. Anterin ke pegadaian. Gue mau gadein laptop gue.” lanjutnya.
“Pegadaian mana? Lo ngapain gadai laptop?” Aku penasaran.
“Gue mau bayar uang kuliah nih.”
“Gak minta duit sama bapak ibu lo?” Aku makin penasaran.
“Mereka lagi pergi semua, dan baru pulang nanti sore. Ya? Tolong anterin ya?” ia mengiba.
“Yaudah, asal lo tau tempatnya dimana yah.”
Telepon pun kututup.

Sekitar 30-an menit, saat aku hendak mandi, ia muncul di rumahku. Kuminta dia untuk menungguku; yang juga sedang menunggu giliran memakai kamar mandi. Tita, mahasiswi yang akan menjalani semester ketiganya di sebuah universitas swasta jurusan bahasa inggris, segera duduk di ruang tivi; di sampingku.
“Mang tempatnya dimana?” kucoba memastikan lokasi tujuan kami.
“Tanah baru.”
“Lah, Tanah Baru mah luas beneeer! Gimana nyarinya?”
“Nanti kita tanya tukang ojek di deket UI sana, pasti mereka tau.”
“Buset, jangan asal yakin dulu!” Aku mulai kesal jadinya.
Belum sempat pembicaraan berlanjut, saudara yang menggunakan kamar mandiku sudah keluar. Aku pun segera masuk kamar mandi.
Tak sampai setengah jam, Aku sudah selesai mandi dan siap beranjak mengantarkan. Untuk lebih memastikan, Aku bertanya pada ibu yang sedang tiduran di kamarnya.
“Pegadaian di Tanah baru itu dimana ya? Tita mau gadain laptop buat bayar kuliah,” kutanya pada ibu, sekaligus menginformasikan kondisinya.
Ibu lalu memberitahu beberapa lokasi yang diduga adalah tempat pegadaian yang dimaksud. Namun Aku masih belum yakin. Tapi ya sudahlah, bisa ditelusuri, selama masih di sekitar daerah sini. Walaupun sebenarnya aku merasa sedikit kesal karena rencana dadakan dan tidak jelas ini.
“Emang kalau mau gadai, harus bawa KTP ya?” tanya Tita yang baru menghampiri kami.
“Iya dong! Buat bukti,” jawab ibu.
“Surat-surat ini itu lo bawa ga? Garansi laptop, batere, charger, boksnya?” tanyaku, melanjutkan.
“Enggak. Cuma ada charger sama batere aja,” Tita menjawab sambil menyenderkan kepala di pintu kamar ibuku.
“Yaudah yuk,” Aku mengajak Tita, lalu mengeluarkan motor dari garasi.
Begitu motor dikeluarkan, Tita sudah siap berdiri di halaman rumahku. Di pundak kanannya, tergantung sebuah tas kain, bentuknya kotak dan tanpa retsleting. Tampaknya dia lebih mudah membawa laptopnya menggunakan tas itu, dibandingkan tas lain yang biasa dibawanya. Perawakannya tak jauh beda dengan ABG-ABG seusianya; rambut belah samping, panjang, digelombang di bagian bawah, kaos bergambar dimasukkan ke dalam celana jins yang semakin mengetat di bagian bawahnya. Tak lupa dnegan sendal jepit hitam untuk jalan-jalan.
“Nanti ke rumah gue dulu ya, ngambil KTP,” pintanya.
Aku diam dan mulai menjalankan motorku.
Tujuan pertama, bertempat tak jauh dari rumahku; menurut keterangan ibu. Beberapa ratus meter selepas gang rumah, kami menemukan pegadaian pertama.
“Itu dia,” sambil ku tunjuk sebuah plang besar bertuliskan Pegadaian: Mengatasi Masalah Tanpa Masalah.
“Bisa gak ya?” Tita masih ragu.
Kubelokkan motor, lalu berhenti di kantor pegadaian tersebut. Kantornya tak terlalu besar, seukuran ruko-ruko biasa. Begitu sampai di dekat pintu, seorang satpam segera membukakannya bagi kami. Tita langsung menuju loket antrian dan langsung menyampaikan maksud kedatangannya.
Selepas beberapa pertukaran kalimat antara Tita dan petugas disana, Tita kembali padaku dengan ketidaklegaan. Menurut pegawai pegadaian, kami harus mencoba ke pegadaian di daerah lain. Alasannya Aku tak tahu. Yang tahu hanya pegawai tadi dan Tita; namun Tita tak bisa mengingatnya kembali. Selain itu, Tita mendapat info bahwa tak semua laptop bisa digadaikan. Hanya laptop dengan prosesor core 2 duo yang bisa digadai. Sedangkan, laptopnya diisi dengan prosesor centrino duo.
“Bisa gak ya? Kan sama-sama duo,” Tita kembali bertanya, saat kami sudah berangkat menuju pegadaian kedua.
“Gak tau deh..”

Di pegadaian kedua, kami pun tak bernasib baik. Entah apa alsannya, kami diminta untuk datang ke pegadaian yang letaknya lebih jauh lagi. Kulihat, badan Tita gemetar saat berbicara dengan petugas pegadaian. Apalagi saat ia tahu bahwa pegadaian akan tutup jam 12.00.
“Kalo mau pinjem duit gue, kira-kira kapan lo bisa balikin?” tanyaku, agak kesal karena harus pergi lebih jauh lagi.
“Jangan deh. Gadai laptop dulu. Kalo bener-bener ga bisa, baru pinjem duit lo.” ia memaksa.
“Ini udah jam 11.30. Kalo ke pegadaian yang disana, bisa 20-an menit. Udah gitu, gue ga bawa helm buat elo!” Kali ini Aku kesal sungguhan. Ah, entah apa yang menghinggapiku, hingga begini mudahnya tersulut dan jadi kesal.
Namun akhirnya, Aku dan Tita segera menunggangi motor sekali lagi dan bergerak kesana; setelah tahu lokasi pegadaian yang dimaksud. Dan untuk menghindari polisi, karena Tita tak berhelm, kami lewat jalan-jalan tembusan, bukan jalan utama.
“Kok bapak ibu lo gak bayarin sih?” menuntaskan penasaranku, sambil mengendara motor.
“Duit kami lagi abis-abisan buat bangun rumah. Waktu itu bapak bilang kalo dia udah nyiapin duit. Jadi gue santai aja. Tarnyata gue baru tau kemaren, kalo dia nyiapin hanya 1.4 juta. Sedangkan uang kuliah gue 3.65 jt. Jadi gadai laptop deh,” katanya.
“Kalo kata ibu, gue disuruh nunggu sampai tanggal 28. Yee, mana bisa? Orang hari ini adalah hari terakhir pembayaran!” lanjutnya.
Antara sedih dan sebal, Aku dibuatnya. Sedih, karena Tita seringkali mengalami kesulitan berkaitan dengan keluarga. Keluarganya memang salah satu keluarga dengan masalah; dia sering bercerita pada keluargaku. Sebal, karena orang tuanya kok begitu; anaknya hendak bayar kuliah tapi tak tahu berapa biaya yang dibutuhkan. Namun apa daya, hanya bantuan inilah yang bisa kuberikan pada Tita.

Kurang lebih 20-an menit, kami tiba di pegadaian ketiga; masih dengan slogan Mengatasi Masalah Tanpa Masalah. Buru-buru kami masuk, karena sebentar lagi kantor itu akan tutup. Tita langsung menuju loket resepsionis, dan Aku duduk saja.
Kembali, kabar buru diterima Tita. Laptopnya tidak memenuhi kriteria; bukan karena centrino duo-nya, melainkan karena belum dual core.
Ia terduduk lesu di sampingku, sambil memasukkan laptop yang baru diperiksa resepsionis. Slip penyetoran tabungan yang tadinya hendak digunakan untuk menyimpan uang hasil gadaian, kini tak berguna, dan harus disimpan dalam tas. Tatap matanya sayu; mungkin karena membayangkan bagaimana ia akan membayar uang kuliahnya, atau membayangkan bahwa ia tak akan kuliah semester depan.
“Gue down banget,” lirih ia berkata.
Aku diam saja, berharap dia akan merespon bantuan yang kutawarkan sebelumnya. Namun ternyata tidak. Ia diam saja dan berdiri, lalu keluar dari kantor pegadaian yang sudah mulai ditutup. Ia hanya berdiri di depan kantor pegadaian.
Aku mendekat ke arah motor dan duduk di bangkunya, menyiapkan kunci tapi belum memakai helm; menandakan belum ingin pergi dari sini dan berharap ia akan meminta bantuan.
“Gue pinjem duit lo aja deh,” akhirnya kalimat itu keluar dari mulutnya.
Tanpa pikir panjang, kutengok kanan kiri, mencari mesin ATM terdekat, dan menemukannya di belakang kantor pegadaian. Segera kami kesana dan mengambil, sejumlah yang diperlukan, lalu pulang ke rumah.

Setelah mengganti tas dan meletakkan laptop, ia memintaku mengantarkannya ke depan jalan raya; karena toh Aku akan lewat daerah itu. Kami pun berbarengan lagi di motorku.
Ia kemudian turun di depan jalan raya.
“Makasih ya! Thanks, thanks banget banget!”ucapnya.
“Iya. Yaudah ya, ati-ati,” kutinggalkan ia menyeberang, sambil aku lalu memacu motor.
Dari kaca spion kanan, kulihat dia sedang menyeberang jalan. Matahari pukul 12-an yang menyoroti bumi dengan tajam, membuatnya harus menutupi sebagian wajahnya. Tujuannya sekarang adalah kampus; berpacu dengan waktu yang semakin dekat dengan jam 4.
“Kasihan sekali ponakanku itu; di usia yang baru lepas remaja, sudah harus menerima cobaan seperti ini. Huff..Ternyata tak hanya yang sedang berpuasa yang dihinggapi cobaan. Kami yang tidak pun mendapatkan bagian masing-masing,” benakku bicara.
Tak tega berlama-lama dengan perasaan ini, segera kualihkan pandangan dari spion, lalu mengarahkan motor lebih cepat menuju rumahku.